Selasa, 19 April 2011

Jenis - jenis stress itu apa saja sih ?

Jenis-jenis Stres

Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:
* Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.
* Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.
Pengertian Stres Kerja
Definisi stres kerja dapat dinyatakan sebagai berikut :
“Work stress is an individual’s response to work related environmental stressors. Stress as the reaction of organism, which can be physiological, psychological, or behavioural reaction” (Selye, dalam Beehr, et al., 1992: 623)
Berdasarkan definisi di atas, stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku. Seperti yang telah diungkapkan di atas, lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja. Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja.
Sumber-sumber Stres Kerja
Banyak ahli mengemukakan mengenai penyebab stres kerja itu sendiri. Soewondo (1992) mengadakan penelitian dengan sampel 300 karyawan swasta di Jakarta, menemukan bahwa penyebab stres kerja terdiri atas 4 (empat) hal utama, yakni:
1. Kondisi dan situasi pekerjaan
2. Pekerjaannya
3. Job requirement seperti status pekerjaan dan karir yang tidak jelas
4. Hubungan interpersonal
Luthans (1992) menyebutkan bahwa penyebab stres (stressor) terdiri atas empat hal utama, yakni:
1. Extra organizational stressors, yang terdiri dari perubahan sosial/teknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, dan keadaan komunitas/tempat tinggal.
2. Organizational stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam organisasi.
3. Group stressors, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup, kurangnya dukungan sosial, serta adanya konflik intraindividu, interpersonal, dan intergrup.
4. Individual stressors, yang terdiri dari terjadinya konflik dan ketidakjelasan peran, serta disposisi individu seperti pola kepribadian Tipe A, kontrol personal, learned helplessness, self-efficacy, dan daya tahan psikologis.
Sedangkan Cooper dan Davidson (1991) membagi penyebab stres dalam pekerjaan menjadi dua, yakni:
* Group stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari situasi maupun keadaan di dalam perusahaan, misalnya kurangnya kerjasama antara karyawan, konflik antara individu dalam suatu kelompok, maupun kurangnya dukungan sosial dari sesama karyawan di dalam perusahaan.
* Individual stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari dalam diri individu, misalnya tipe kepribadian seseorang, kontrol personal dan tingkat kepasrahan seseorang, persepsi terhadap diri sendiri, tingkat ketabahan dalam menghadapi konflik peran serta ketidakjelasan peran.
Cooper (dalam Rice, 1999) memberikan daftar lengkap stressor dari sumber pekerjaan yang tertera pada tabel berikut:
Stressor
Dari
Stres Kerja
Faktor Yang Mempengaruhi
(Hal-hal Yang Mungkin Terjadi Di Lapangan)
Konsekuensi Kondisi Yang
Mungkin Muncul
Kondisi pekerjaan
* Beban kerja berlebihan secara kuantitatif
* Beban kerja berlebihan secara kualitatif
* Assembly-line hysteria
* Keputusan yang dibuat oleh seseorang
* Bahaya fisik
* Jadwal bekerja
* Technostress
* Kelelahan mental dan/atau fisik
* Kelelahan yang amat sangat dalam bekerja (burnout)
* Meningkatnya kesensitivan dan ketegangan
Stress karena peran
* Ketidakjelasan peran
* Adanya bias dalam membedakan gender dan stereotype peran gender
* Pelecehan seksual
* Meningkatnya kecemasan dan ketegangan
* Menurunnya prestasi pekerjaan
Faktor interpersonal
* Hasil kerja dan sistem dukungan sosial yang buruk
* Persaingan politik, kecemburuan dan kemarahan
* Kurangnya perhatian manajemen terhadap karyawan
* Meningkatnya ketegangan
* Meningkatnya tekanan darah
* Ketidakpuasan kerja
Perkembangan karir
* Promosi ke jabatan yang lebih rendah dari kemampuannya
* Promosi ke jabatan yang lebih tinggi dari kemampuannya
* Keamanan pekerjaannya
* Ambisi yang berlebihan sehingga mengakibatkan frustrasi
* Menurunnya produktivitas
* Kehilangan rasa percaya diri
* Meningkatkan kesensitifan dan ketegangan
* Ketidakpuasan kerja
Struktur organisasi
* Struktur yang kaku dan tidak bersahabat
* Pertempuran politik
* Pengawasan dan pelatihan yang tidak seimbang
* Ketidakterlibatan dalam membuat keputusan
* Menurunnya motivasi dan produktivitas
* Ketidakpuasan kerja
Tampilan rumah-pekerjaan
* Mencampurkan masalah pekerjaan dengan masalah pribadi
* Kurangnya dukungan dari pasangan hidup
* Konflik pernikahan
* Stres karena memiliki dua pekerjaan
* Meningkatnya konflik dan kelelahan mental
* Menurunnya motivasi dan produktivitas
* Meningkatnya konflik pernikahan
Dampak Stres Kerja
Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustrasi dan sebagainya (Rice, 1999). Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan dengan aktivitas kerja saja, tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, kurang mampu berkonsentrasi, dan sebagainya.
Sedangkan Arnold (1986) menyebutkan bahwa ada empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami oleh individu, yaitu terganggunya kesehatan fisik, kesehatan psikologis, performance, serta mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan.
Penelitian yang dilakukan Halim (1986) di Jakarta dengan menggunakan 76 sampel manager dan mandor di perusahaan swasta menunjukkan bahwa efek stres yang mereka rasakan ada dua. Dua hal tersebut adalah:
* Efek pada fisiologis mereka, seperti: jantung berdegup kencang, denyut jantung meningkat, bibir kering, berkeringat, mual.
* Efek pada psikologis mereka, dimana mereka merasa tegang, cemas, tidak bisa berkonsentrasi, ingin pergi ke kamar mandi, ingin meninggalkan situasi stres.
Bagi perusahaan, konsekuensi yang timbul dan bersifat tidak langsung adalah meningkatnya tingkat absensi, menurunnya tingkat produktivitas, dan secara psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, memicu perasaan teralienasi, hingga turnover (Greenberg & Baron, 1993; Quick & Quick, 1984; Robbins, 1993).
Terry Beehr dan John Newman (dalam Rice, 1999) mengkaji ulang beberapa kasus stres pekerjaan dan menyimpulkan tiga gejala dari stres pada individu, yaitu:
1. Gejala psikologis
Berikut ini adalah gejala-gejala psikologis yang sering ditemui pada hasil penelitian mengenai stres pekerjaan :
* Kecemasan, ketegangan, kebingungan dan mudah tersinggung
* Perasaan frustrasi, rasa marah, dan dendam (kebencian)
* Sensitif dan hyperreactivity
* Memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi
* Komunikasi yang tidak efektif
* Perasaan terkucil dan terasing
* Kebosanan dan ketidakpuasan kerja
* Kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kehilangan konsentrasi
* Kehilangan spontanitas dan kreativitas
* Menurunnya rasa percaya diri
2. Gejala fisiologis
Gejala-gejala fisiologis yang utama dari stres kerja adalah:
* Meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kecenderungan mengalami penyakit kardiovaskular
* Meningkatnya sekresi dari hormon stres (contoh: adrenalin dan noradrenalin)
* Gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung)
* Meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan
* Kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami sindrom kelelahan yang kronis (chronic fatigue syndrome)
* Gangguan pernapasan, termasuk gangguan dari kondisi yang ada
* Gangguan pada kulit
* Sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah, ketegangan otot
* Gangguan tidur
* Rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk risiko tinggi kemungkinan terkena kanker
3. Gejala perilaku
Gejala-gejala perilaku yang utama dari stres kerja adalah:
* Menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan
* Menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas
* Meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan
* Perilaku sabotase dalam pekerjaan
* Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan) sebagai pelampiasan, mengarah ke obesitas
* Perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba, kemungkinan berkombinasi dengan tanda-tanda depresi
* Meningkatnya kecenderungan berperilaku beresiko tinggi, seperti menyetir dengan tidak hati-hati dan berjudi
* Meningkatnya agresivitas, vandalisme, dan kriminalitas
* Menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman
* Kecenderungan untuk melakukan bunuh diri

Referensi : http://kasturi82.blogspot.com/2009/04/jenis-jenis-stres.html

Apa saja model - model stress ?

1. PSIKOSOMATIK STRESS
Dalam menghadapi waktu konflik, seringkali terjadi gangguan pada fungsi badaniah. Gejala-gejala yang sebagian besar mengganggu fungsi faal yang berlebihan sebagai akibat dari manifestasi, gangguan jika ini dinamakan gangguan psikosomatik. Psikosomatik umumnya dapat membantu banyak dalam usaha mengerti hubungan antara kepribadian seseorang dengan penyakit atau gangguannya.
Suatu konflik menimbulkan ketegangan pada manusia dan bila hal ini tidak terselesaikan dan disalurkan dengan baik maka timbullah reaksi-reaksi yang abnormal pada jiwa. Jika ketegangan tersebut mengganggu fungsi susunan saraf negatif, maka hal tersebut yang dinamakan gangguan psikosomatik.
Adapun sebab-sebab timbulnya psikomotorik :
Penyakit organic yang pernah diderita dapat menimbulkan predisposisi untuk tuimbulnya gangguan psikomotorik pada bagian tubuh yang pernah sakit.
Merasakan penyakit orang lain yang secara tidak sadar diidentifikasikan .
Tradisi dan adapt istiadat dalam keluarga atau lingkungan dapat mengarahkan emosi kepada fungsi tertentu.
Suatu emosi yang menjelma menjadi suatu gangguan badaniah tertentu.
Konflik dan gangguan jiwa yang menjelma menjadi suatu gangguan badaniah biasanya hanya pada suatu alat tumbuh saja. Untuk klasifikasi, maka jenis gangguan dibagi menurut organ yang paling terkena, sebagai berikut :
Kulit
Pada dasarnya gangguan stress atau emosi dapat menimbulkan gangguan pada kulit. Hal ini telah lama diketahui. Beberapa penyeliodikan juga telah dilakukan utnuk mengetahui sejauh mana reaksi kulit terhadap kesukaran penyesuaian diri terhadap stress.
Otot dan tulang
Dalam kehidupan sehari-hari seringkali ditemukan seseorang yang mengalami nyeri otot selain disebabkan faktor hawa dan pekerjaan juga disebabkan oleh faktor emosi. Karena tekanan psikologik maka tonus otot akan meninggi dan penderita mengeluh nyeri kepala dan nyeri punggung. Ketegangan otot ini dapat menyebabkan ketegangan sekitar sendi dan menimbulkan nyeri sendi.
Saluran pernapasan
Gangguan psikosomatik yang timbul dari saluran pernapasan seperti asma bronkiale dengan bermacam-macam keluhannya, kecemasan dapat menimbulkan serangan asma.
Jantung dan pembuluh darah.
Pada saat mengalami stress biasanya seseorang merasakan bahwa jantungnya berdebat-debar . Stress yang menimbulkan kecemasan mempercepat denyut jantung, meninggikan daya pompa jantung dan tekanan darah. Gangguan yang mungkin saja timbul seperti hipertensiosensial, sakit kepala vaskuler dan migraine.
2. ADAPTASI MODEL
Setiap orang secara terus menerus akan menghadapi perubahan fisik, psikis, dan sosial baik dari dalam maupun dari lingkungan luar. Jika hal tersebut tidak dapat dihadapi dengan seimbang maka tingkat stress akan meningkat.
Model adaptasi menunjukkan bahwa empat faktor menentukan apakah suatu situasi adalah menegangkan (Mechanic, 1962). Empat faktor yang mempengaruhi Kemampuan untuk menghadapi stress itu adalah :
Biasanya tergantung pada pengalaman seseorang dengan stressor serupa, sistem dukungan, dan persepsi keseluruhan trehadap stressor.
 Berkenaan dengan prktik dan norma kelompok sebaya individu.
Dampak dari lingkungan sosial dalam membantu seorang individu untuk beradaptasi terhadap stressor.
Sumber yang dapat digunakan untuk mengatasi stressor.

a. ADAPTASI FISIOLOGIS/BIOLOGIS
Pada dasarnya disetiap tubuh manusia telah terdapat mekanisme pertahanan yang bersifat alami dan bekerja secara teratur sehingga memungkinkan tubuh untuk dapat beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang berasal dari faktor internal. Mekanisme ini bekerja dengan sendirinya dan akan berubah menjadi suatu aksi tanpa didasari dan biasanya berfungsi dalam kondisi yang tidak normal.
b. ADAPTASI PSIKOLOGIS
Seseorang yang menghadapi stress akan mengalami kondisi-kondisi yang tidak mengenakkan secara psikis seperti timbulnya rasa cemas, frustasi, terancam, tak tentram yang semuanya itu berdampak pada munculnya suatu kontak konflik dalam jiwa mereka. dan konflik tersebut diekspresikan dalam bentuk kemarahan atau ekspresi-ekspresi lain yang dapat membuat orang tersebut merasa sedikit nyaman atau terlepas dari stress yang dihadapinya.
ADAPTASI SOSIAL BUDAYA
Setiap lingkungan sosial masyarakat mempunyai tatanan budaya masing-,masing. Antara lingkungan satu dan yang lainnya tentu memiliki budaya berbeda-beda. Perbedaan tersebut yang akhirnya menuntut setiap orang beradaptasi jika hal itu dapat dilakukan dengan baik maka akan tercipta keseimbangan. Namun jika hal tersebut tidak dapat dilakukan bukanlah suatu hal yang tidak mungkin jika orang tersebut akan mengalami stress.
ADAPTASI SPIRITUAL
Setiap agama dan kepercayaan mengandung ajaran yang hendaknya harus dijalankan oleh penganutnya. Ajaran-ajaran ini tentunya juga harus turut andil dalammengatur perilaku manusia ini. Oleh karena itu dalam rangka memenuhi ajaran-ajaran tersebut pasti terjadi perubahan dalam perilaku manusia.

3. LINGKUNGAN SOSIAL MODEL
Keadaan lingkungan dan masyarakat sangat mempengaruhi seseorang dalam beradaptasi. Keadaan lingkungan yang stabil dan seimbang akan memudahkan seseorang dalam beradaptasi. Sedangkan keadaan masyarakat dengan hubungan sosial yang baik juga akan memudahkan individu dalam melakukan adaptasi agar terhindar dari stress.

4. PROSES MODEL
Pada dasarnya proses model adalah berlangsungnya kejadian dan masalah yang terjadi pada seseorang sehingga mempengaruhi orang tersebut yang pada akhirnya mengalami stress dan proses menghadapi stress itu sendiri.

Referensi : http://akperunipdu.blogspot.com/2008/05/stress-dan-adaptasi.html

Senin, 11 April 2011

Sumber - Sumber Potensi Stress

Faktor Lingkungan
Selain memengaruhi desain struktur sebuah organisasi, ketidakpastian lingkungan juga memengaruhi tingkat stres para karyawan dan organisasi. Perubahan dalam siklus bisnis menciptakan ketidakpastian ekonomi, misalnya, ketika ekonomi memburuk orang merasa cemas terhadap kelangsungan pekerjaannya.


Faktor Organisasi
Banyak faktor di dalam organisasi yang dapat menyebabkan stres. Tekanan untuk menghindari kesalahaan atau menyelesaikan tugas dalam waktu yang mepet, beban kerja yang berlebihan, atasan yang selalu menuntut dan tidak peka, dan rekan kerja yang tidak menyenangkan adalah beberapa di antaranya. Hal ini dapat mengelompokkan faktor-faktor ini menjadi tuntutan tugas, peran, dan antarpribadi.

Tuntutan tugas adalah faktor yang terkait dengan pekerjaan seseorang. Tuntutan tersebut meliputi desain pekerjaan individual, kondisi kerja, dan tata letak fisik pekerjaan. Sebagai contoh, bekerja di ruangan yang terlalu sesak atau di lokasi yang selalu terganggu oleh suara bising dapat meningkatkan kecemasan dan stres. Dengan semakin pentingnya layanan pelanggan, pekerjaan yang menuntut faktor emosional bisa menjadi sumber stres

Tuntutan peran berkaitan dengan tekanan yang diberikan kepada seseorang sebagai fungsi dari peran tertentu yang dimainkannya dalam organisasi. Konflik peran menciptakan ekspektasi yang mungkin sulit untuk diselesaikan atau dipenuhi.

Tuntutan antarpribadi adalah tekanan yang diciptakan oleh karyawan. Tidak adanya dukungan dari kolega dan hubungan antarpribadi yang buruk dapat meyebabkan stres, terutama di antara para karyawan yang memiliki kebutuhan sosial yang tinggi.


Faktor pribadi
Faktor-faktor pribadi terdiri dari masalah keluarga, masalah ekonomi pribadi, serta kepribadian dan karakter yang melekat dalam diri seseorang.


Survei nasional secara konsisten menunjukkan bahwa orang sangat mementingkan hubungan keluarga dan pribadi. berbagai kesulitan dalam hidup perkawinan, retaknya hubungan, dan kesulitan masalah disiplin dengan anak-anak adalah beberapa contoh masalah hubungan yang menciptakan stres.

Masalah ekonomi karena pola hidup yang lebih besar pasak daripada tiang adalah kendala pribadi lain yang menciptakan stres bagi karyawan dan mengganggu konsentrasi kerja karyawan. Studi terhadap tiga organisasi yang berbeda menunjukkan bahwa gejala-gejala stres yang dilaporkan sebelum memulai pekerjaan sebagian besar merupakan varians dari berbagai gejala stres yang dilaporkan sembilan bulan kemudian. Hal ini membawa para peneliti pada kesimpulan bahwa sebagian orang memiliki kecenderungan kecenderungan inheren untuk mengaksentuasi aspek-aspek negatif dunia secara umum. Jika kesimpulan ini benar, faktor individual yang secara signifikan memengaruhi stres adalah sifat dasar seseorang. Artinya, gejala stres yang diekspresikan pada pekerjaan bisa jadi sebenarnya berasal dari kepribadian orang itu.

Ref : http://id.wikipedia.org/wiki/Stres

Apa Itu Stress ?

Stress adalah suatu kondisi anda yang dinamis saat seorang individu dihadapkan pada peluang, tuntutan, atau sumber daya yang terkait dengan apa yang dihasratkan oleh individu itu dan yang hasilnya dipandang tidak pasti dan penting. Stress adalah beban rohani yang melebihi kemampuan maksimum rohani itu sendiri, sehingga perbuatan kurang terkontrol secara sehat.

Stres tidak selalu buruk, walaupun biasanya dibahas dalam konteks negatif, karena stres memiliki nilai positif ketika menjadi peluang saat menawarkan potensi hasil. Sebagai contoh, banyak profesional memandang tekanan berupa beban kerja yang berat dan tenggat waktu yang mepet sebagai tantangan positif yang menaikkan mutu pekerjaan mereka dan kepuasan yang mereka dapatkan dari pekerjaan mereka.

Stres bisa positif dan bisa negatif. Para peneliti berpendapat bahwa stres tantangan, atau stres yang menyertai tantangan di lingkungan kerja, beroperasi sangat berbeda dari stres hambatan, atau stres yang menghalangi dalam mencapai tujuan. Meskipun riset mengenai stres tantangan dan stres hambatan baru tahap permulaan, bukti awal menunjukan bahwa stres tantangan memiliki banyak implikasi yang lebih sedikit negatifnya dibanding stres hambatan.


Referensi : http://id.wikipedia.org/wiki/Stres

Selasa, 05 April 2011

Privasi, itu apa sih ?

A. Pengertian Privasi
Kerahasiaan pribadi (Bahasa Inggris: privacy) adalah kemampuan satu atau sekelompok individu untuk mempertahankan kehidupan dan urusan personalnya dari publik, atau untuk mengontrol arus informasi mengenai diri mereka. Privasi kadang dihubungkan dengan anonimitas walaupun anonimitas terutama lebih dihargai oleh orang yang dikenal publik. Privasi dapat dianggap sebagai suatu aspek dari keamanan.
Hak pelanggaran privasi oleh pemerintah, perusahaan, atau individual menjadi bagian di dalam hukum di banyak negara, dan kadang, konstitusi atau hukum privasi. Hampir semua negara memiliki hukum yang, dengan berbagai cara, membatasi privasi, sebagai contoh, aturan pajak umumnya mengharuskan pemberian informasi mengenai pendapatan. Pada beberapa negara, privasi individu dapat bertentangan dengan aturan kebebasan berbicara, dan beberapa aturan hukum mengharuskan pemaparan informasi publik yang dapat dianggap pribadi di negara atau budaya lain.
Privasi dapat secara sukarela dikorbankan, umumnya demi keuntungan tertentu, dengan risiko hanya menghasilkan sedikit keuntungan dan dapat disertai bahaya tertentu atau bahkan kerugian. Contohnya adalah pengorbanan privasi untuk mengikut suatu undian atau kompetisi; seseorang memberikan detil personalnya (sering untuk kepentingan periklanan) untuk mendapatkan kesempatan memenangkan suatu hadiah. Contoh lainnya adalah jika informasi yang secara sukarela diberikan tersebut dicuri atau disalahgunakan seperti pada pencurian identitas.
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut ketrbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain (Dibyo Hartono, 1986).


B. Faktor-faktor yang Memperngaruhi Privasi
Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi privasi yaitu faktor personal, faktor situasional, dan faktor budaya.
1. Faktor personal
Marshall (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam suasana rumah yang sesak akan lebih memiliki keadaan yang anonym dan reserve saat ia dewasa. Sedangkan orang menghabiskan sebagian besar waktunya di kota akan lebih memilih keadaan anonym dan intimacy.
2. Faktor situasional
Beberapa hasil penelitian tentang privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang di dalamnya untuk menyendiri (Gifford, 1987).
3. Faktor budaya
Tidakterdapat keraguan bahwa perbedaan masyarakat menunjukkan variasi yang besar dalam jumlah pribadi yang dimiliki anggotanya.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Privasi
Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang penting adalah utnuk mengatur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan sosial. Bila seseorang dapat mendapatkan privasi seperti yang diinginkannya maka ia akan dapat mengatur kapan harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri.

Maxine Wolfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, orang yang terganggu privasinya akan merasakan keadaan yang tidak mengenakkan.

D. Privasi dalam Konteks Budaya
Menurut Altman (1975) “ruang keluarga di dalam rumah pada rumah-rumah di daerah pinggiran Amerika Serikat umumnya dijadikan tempat untuk berinteraksi sosial dalam keluarga. Rumah-rumah disana, menggunakan ruang-ruang tertentu seperti ruang baca, ruang tidur, dan kamar mandi sebagai tempat untuk menyendiri dan tempat untuk berpikir. Dengan cara itu seseorang yang tidak memiliki cukup ruang di dalam rumah dapat emperoleh privasi secara maksimal.sau are yang sama kemungkinan dapat difungsikan untuk makan, tidur, dan interaksi sosial dalam waktu yang berbeda. Logikanya adalah bahwa penggunaan lingkungan yang mudah diubah-ubah tersebut adalah cara agar lingkungan tersebut fleksibel terhadap perubahan kebutuhan privasi.

Referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Privasi, diakses tanggal 30 Maret 2011
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab6-privasi.pdf, diakses tanggal 30 Maret 2011

Apa itu Teritorilialitas ?

A. Pengertian Teritorial
Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengunkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatnya atau area yang sering melibatkani ciri pemilikannya dan pertahanan dari seranganorang lain. Dengan demikian menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu teritorial primer.
Sommer dan de War (1963) berpendapat bahwa ruang personal dibawa kemanapun seseorang pergi, sedangkan teritori memiliki implikasi tertentu yang secara geografis merupakan daerah yang tidak berubah-ubah.

B. Pengertian Teritorial
Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari teritorialita, yaitu :
1. Kepemilikan atau hak dari suatu tempat.
2. Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu.
3. Hak untuk mempertahankan diri dari gambaran luar.
4. Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika.
Porteus (dalam Lang, 1987) mengidentifikasi 3 kupulan tingkat spasial yang saling terkait satu sama lain :
1. Personal space, yang telah banyak dibahas dimuka.
2. Home base, ruang-ruang yang dipertahankan secara aktif, misalnya rumah tinggal atau lingkungan rumah tinggal.
3. Home range, seting-seting perilaku yang terbentuk dari bagian kehidupan seseorang.
Sementara itu, Altman membagi teritorilitas menjadi tiga, yaitu antara lain :
1. Teritorial Primer
Jenis teritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadap teritori utama ini akan mengakibatkan timbulnya perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori utama ini akan mengakibatkan masalah yang serius terhadap aspek psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitasnya. Yang termasuk dalam teritorial ini adalah ruang kerja, ruang tidur, pekarangan, wilayah negara, dan sebagainya.
2. Teritorial Primer
Jenis teritori ini leboh longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Teritorial ini dapat digunakan oleh orang lain yang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Sifat teritorial sekunder adalah semi-publik. Yang termasuk dalam teritorial ini adalah sirkulasi lalu lintas di dalam kantor, toilet, zona, servis, dan sebagainya.
3. Teritorial Umum
Teritorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim di dalam masyarakat di mana teritorial umum ini berada. Teritorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat. Contoh taman kota, tempat duduk dalam bis kota, gedung bioskop, ruang kuliah, dan sebagainya. Berdasarkan pemakaiannya, teritorial umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu stalls, turns, dan use space.

C. Pengertian Teritorial
Suatu studi menarik dilakukan oleh Smith (dalam Gifford, 1977) yang melakukan studi tentang penggunaan pantai orang-orang Perancis dan Jerman. Studi ini yang memiliki pola yang sama dengan studi yang lebih awal di Amerika, sebgaimana yang dilakukan oleh Edney dan Jordan-Edney (dalam Gifford, 1987). Hasil dari kedua penelitian ini meninjukkan bahwa penggunaan pantai antara orang Perancis, Jerman, dan Amerika membuktikan sesutu hal yng kontras. Smith menemukan bahwa dari ketiga bidaya ini memiliki persamaan dalam hal respek.

Referensi :
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab5-ruang_personal_dan_teritorialias.pdf

Selasa, 22 Maret 2011

Apa Yang Dimaksud Dengan Ruang Personal ?

Ruang personal adalah salah satu mekanisme perilaku untuk mencapai tingkat privasi tertentu.
Beberapa karakterisitik ruang personal menurut Sommer (dalam altman,1975),
pertama, batas diri yang tidak boleh dimasuki oleh orang lain. Kedua, ruang personal itu tidak berupa pagar yang tampak mengelilingi seseorang dan terlerak di suatu tempat tetapi batas itu melekat pada diri dan dibawa kemana-mana. Ketiga, ruang personal adalah batas kawasan yang dinamis, yang berubah-ubah besarnya sesuai dengan waktu dan situasi. Keempat, pelanggaran ruang personal ini akan dirasakan sebagai ancaman sehingga daerah ini dikontrol dengan kuat.

Personal space/ruang pribadi adalah kawasan sekitarnya seseorang yang mereka anggap sebagai psikologis mereka. Invasi ruang pribadi sering menyebabkan ketidaknyamanan, kemarahan, atau kecemasan pada pihak korban. (Edward T. Hall , yang gagasannya dipengaruhi oleh Heini Hediger)

Ruang pribadi adalah sangat bervariasi. Mereka tinggal di sebuah tempat yang berpenduduk padat cenderung memiliki ruang pribadi yang lebih kecil.Warga India cenderung memiliki ruang pribadi lebih kecil daripada di Mongolia padang rumput, baik dalam hal rumah dan individu. Untuk contoh yang lebih rinci, lihat kontak Tubuh dan ruang pribadi di Amerika Serikat.
Ruang pribadi telah berubah historis bersama dengan batas-batas publik dan swasta dalam budaya Eropa sejak Kekaisaran Romawi. Topik ini telah dieksplorasi dalam A History of Private Life, di bawah redaktur umum Philippe Aries dan Georges Duby, diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Belknap Press.
ruang pribadi adalah juga dipengaruhi oleh posisi seseorang dalam masyarakat dengan individu-individu lebih makmur menuntut ruang pribadi yang lebih besar. Orang membuat pengecualian terhadap, dan memodifikasi persyaratan ruang mereka. Misalnya dalam pertemuan romantis tegangan dari jarak dekat yang memungkinkan ruang pribadi dapat ditafsirkan kembali ke semangat emosional. Selain itu, sejumlah hubungan memungkinkan untuk ruang pribadi untuk dimodifikasi dan ini termasuk hubungan keluarga, mitra romantis, persahabatan dan kenalan dekat di mana tingkat yang lebih besar dari kepercayaan dan pengetahuan seseorang memungkinkan ruang pribadi harus dimodifikasi

Referensi : http://ronggosusenoengg.blogspot.com/2010/04/privacy-personal-space-dan-teritorial.html

R U A N G P E R S O N A L

Mungkin anda pernah merasa canggung karena orang yang baru anda kenal berdiri terlalu dekat dengan anda? Tetapi mengapa orang tersebut tidak secanggung anda? Atau berpapasan dengan sepasang muda muda yang saling tersenyum sambil berpegangan tangan? Apa kesimpulan anda?
Ya…semua itu sebenarnya bukan terjadi secara kebetulan, akan tetapi dapat kita bahas kok dengan jelas. Kira-kira begini…
Pada dasarnya kita memasang sebuah ”pagar” yang secara imajiner atau tidak nyata mengelilingi kita di mana kita tidak akan membiarkan orang asing untuk melewati batas pagar tersebut. Inilah yang oleh para psikolog disebut dengan Ruang Personal (Personal Space) atau selanjutnya kita singkat menjadi RP. Tidak sesederhana itu, RP bukan sebuah batas yang kaku, dia akan bertambah atau berkurang sesuai dengan kedekatan kita dengan obyek (baca orang) di luar kita. Eksistensi RP juga melibatkan adanya interaksi sosial dan keterikatan. Sehingga pada akhirnya RP itu bukanlah sebuah pagar akan tetap lebih merupakan perpaduan dari jarak dan orientasi antar individu ketika berinteraksi.
Masih merasa bingung?, baik pelan – pelan akan coba saya jelaskan ..
Kembali ke contoh di atas, kita akan memasang jarak yang cukup jauh ketika baru pertama berkenalan, khususnya perempuan dengan laki-laki. Juga cara kita memandang dan pengambilan sudut pandang akan berbeda dibandingkan jika bercakap dengan kawan akrab. Nah, sesungguhnya kita menerapkan yang namanya RP itu.
Edwad Hall, seorang peneliti di bidang ruang personal, membagi jarak antar personal ke dalam 8 bagian. Menurutnya terjadi gradasi jarak berdasarkan tingkat keakraban antar personal. Kedelapan jarak tersebut dikelompokkan ke dalam empat jarak utama, yaitu:
1. Jarak Intim
a. Jarak Intim Dekat (0-6 inchi atau 0-15 cm), yaitu jarak yang muncul pada kondisi memeluk, menenangkan, percintaan, pergulatan (olahraga) atau kontak penuh dengan orang lain. Orang-orang tidak hanya berinteraksi pada situasi intim, atau melakukan kegiatan berdasarkan peraturan (gulat), tapi juga bisa terjadi pada kondisi emosi negatif (mis: manajer bola basket yang bertengkar dengan wasit).
b. Jarak Intimm Jauh (6-18 inc atau 15-45 cm), mewakili hubungan yang cukup erat, misalnya seseorang yang membisikan sesuatu ke temannya,
2. Jarak Personal
a. Jarak Personal Dekat (18-30 inc atau 45-75 cm), yang berlaku bagi orang-orang yang saling mengenal satu sama lain dalam konteks yang positif. Biasanya diwakili oleh orang yang saling berteman atau pasangan yang sedang berbahagia.
b. Jarak Personal Jauh (75 cm-1,2 m), adalah jarak yang digunakan oleh orang-orang yang berteman tapi tidak saling akrab. Biasanya jika kita menjumpai dua orang yang bercakap pada jarak ini maka hampir bisa dipastikan bahwa mereka adalah berteman tapi tidak saling akrab,
3. Jarak Sosial
a. Jarak Sosial Dekat (1,2 – 2 m), terjadi pada situasi ketika kita diperkenalkan kepada kawan ibu kita ketika bertemu di suatu tempat, misalkan di supermarket.
b. Jarak Sosial Jauh (2-3,5 m), umumnya terjadi ketika melakukan transaksi bisnis resmi. Pada situasi ini sangat kecil atau sama sekali tidak ada suasana pertemanan, karena biasanya masing-masing perusahaan mengutus wakil untuk berinteraksi,
4. Jarak Publik
a. Jarak Publik Dekat (3,5-7 m), biasanya digunakan oleh seorang dosen yang mengajar kelas theater yang terdiri dari ratusan murid di mana jika berbicara harus dari jarak yang tepat sehingga suaranya terdengar di seluruh penjuru ruangan. Jika kita berbicara kepada 30-40 orang, kira-kira jarak inilah yang umum kita pakai agar suara kita bisa terdengar jelas oleh masing-masing orang,
b. Jarak Publik Jauh (7 m atau lebih), biasanya jarak yang disediakan jika ada interaksi masyarakat umum dengan seorang tokoh penting. Akan tetapi jika tokoh itu ingin bercakap maka umumnya dia akan mendekat.
Nah, sudah makin jelas kan? Mengapa kita sangat nyaman berdekatan dengan ibu, bapak, saudara, suami atau istri. Sedangkan secara tidak sadar kita akan menjaga jarak ketika berkenalan dengan seseorang (walaupun jarak itu bisa berkurang atau bertambah tergantung hasil interaksi kita selanjutnya).
Terakhir (untuk kesempatan ini) ternyata ada beberapa unsur yang mempengaruhi jarak RP seseorang, yaitu:
1. Jenis Kelamin
Umumnya laki-laki memiliki ruang yang lebih besar, walaupun demikian faktor jenis kelamin bukanlah faktor yang berdiri sendiri,
2. Umur
Makin bertambah usia seseorang, makin besar ruang personalnya, ini ada kaitannya dengan kemandirian. Pada saat bayi, hampir tidak ada kemampuan untuk menetapkan jarak karena tingkat ketergantungan yang makin tinggi. Pada usia 18 bulan, bayi sudah mulai bisa memutuskan ruang personalnya tergantung pada orang dan situasi. Ketika berumur 12 tahun, seorang anak sudah menerapkan RP seperti yang dilakukan orang dewasa.
3. Kepribadian,
Orang-orang yang berkepribadian terbuka, ramah atau cepat akrab biasanya memiliki RP yang lebih kecil. Demikian halnya dengan orang-orang yang lebih mandiri lebih memilih ruang personal yang lebih kecil. Sebaliknya si pencemas akan lebih mengambil jarak dengan orang lain, demikian halnya dengan orang yang bersifat kompetitif dan terburu-buru.
4. Gangguan Psikologi atau Kekerasan
Orang yang mempunyai masalah kejiwaan punya aturan sendiri tentang RP ini. Sebuah penelitian pada pengidap skizoprenia memperlihatkan bahwa kadang-kadang mereka membuat jarak yang besar dengan orang lain, tetapi di saat lain justru menjadi sangat dekat
5. Kondisi Kecacatan
Beberapa penelitian memperlihatkan adanya hubungan antara kondisi kecatatan dengan RP yang diterapkan. Beberapa anak autis memilih jarak lebih dekat ke orang tuanya, sedangkan anak-anak dengan tipe autis tidak aktif, anak hiperaktif dan terbelakang mental memilih untuk menjaga jarak dengan orang dewasa.
6. Ketertarikan
Ketertarikan, keakraban dan persahabatan membawa pada kondisi perasaan positif dan negatif antara satu orang dengan orang lain. Namun yang paling umum adalah kita biasanya akan mendekati sesuatu jika tertarik. Dua sahabat akan berdiri pada jarak yang berdekatan dibanding dua orang yang saling asing. Sepasang suami istri akan duduk saling berdekatan dibanding sepasang laki-laki dan perempuan yang kebetulan menduduki bangku yang sama di sebuah taman.
7. Rasa Aman/Ketakutan
Kita tidak keberatan berdekatan dengan seseorang jika merasa aman dan sebaliknya. Kadang ketakutan tersebut berasal dari stigma yang salah pada pihak-pihak tertentu,misalnya kita sering kali menjauh ketika berpapasan dengan orang cacat, atau orang yang terbelakang mental atau bahkan orang gemuk. Mungkin rasa tidak nyaman tersebut muncul karena faktor ketidakbiasaan dan adanya sesuatu yang berbeda.
8. Persaingan/Kerjasama
Pada situasi berkompetisi, orang cenderung mengambil posisi saling berhadapan, sedangkan pada kondisi bekerjasama kita cenderung mengambil posisi saling bersisian. Tapi bisa juga sebaliknya, sepasang kekasih akan duduk berhadapan di ketika makan di restoran yang romantis,sedangkan dua orang pria yang duduk berdampingan di meja bar justru dalam kondisi saling bersaing mendapatkan perhatian seorang wanita yang baru masuk.
9. Kekuasaan dan Status
Makin besar perbedaan status makin besar pula jarak antar personalnya.
10. Pengaruh Lingkungan Fisik
Ruang personal juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik. Di ruang dengan cahaya redup orang akan nyaman jika posisinya lebih berdekatan, demikian halnya bila ruangannya sempit atau kecil. Orang juga cenderung memilih duduk di bagian sudut daripada di tengah ruangan.
11. Dan beberapa variasi lain seperti budaya, religi dan suku/etnis

Disarikan dari: Environmental Psychology, Principles and Practices (Robert Gifford, 1997)
Referensi : http://alusi.wordpress.com/2008/06/20/ruang-personal/

Selasa, 15 Maret 2011

Kepadatan dan Kesesakan ?

KEPADATAN (DENSITY)

A. Pengertian
- Menurut Sundstorm : Sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan.
- Menurut Sarwono : Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bilajumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan luas ruangan.


B. Katagori Kepadatan
1. Menurut Altman (dalam studi tahun 1920-an) : Variasi indikator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku sosial :
- Jumlah individu dalam sebuah kota
- Jumlah Individu pada daerah sensus
- Jumlah individu pada unit tempat tinggal
- Jumlah ruangan pada unit tempat tinggal
- Jumlah bangunan pada lingkungan sekitar
2. Menurut Jain (1987) : Tingkat kepadatan penduduk dipengaruhi oleh unsure-unsur :
- Jumlah individu pada setiap ruang
- Jumlah ruang pada setiap unit rumah tinggal
- Jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian
- Jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman

Teori Kepadatan Menurut Halohan
1. Kepadatan Spasial (Spasial Density)
Terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit, sedangkan jumlah individu tetap.
2. Kepadatan Sosial (Social Density)
Terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi penambahan luas ruang.


Teori Kepadatan Menurut Altman
1. Kepadatan Altman (Inside Density)
Jumlah individu dalam suatu ruangan atau tempat tinggal.
2. Kepadatan Luar (Outside Density)
Sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu


C. Akibat Kepadatan Yang Tinggi
1. Menurut Taylor :
- Lingkungan sekitar merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhisikap, perilaku dan keadaan internal individu di suatu tempat tinggal
- Rumah dan lingkungan pemukiman yaitu yang nyaman member kepuasan psikis
2. Menurut Schrr :
Kualitas pemukiman mempengaruhi persepsi diri, strss, kesehatan fisik.
Kualitas pemukiman mempengaruhi perilaku dan sikap individu.
3. Heimstra dan Mc. Farling, akibat kepadatan :
Akibat Fisik
Akibat Sosial
Akibat Psikis

KESESAKAN
Kesesakan adalah persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, bersifat psikis terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan baik.
1. Menurut Altman :
Kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada tingkatan interaksi manusia dalam suatu pasangan atau kelompok kecil.
2. Menurut Baum dan Paulus :
Kepadatan dapat dirasa sebagai kesesakan atau tidak, ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan :
a. Karakteristik setting fisik
b. Karakteristik setting social
c. Karakteristik personal
d. Kemampuan beradaptasi
3. Menurut Morris :
Kesesakan sebagai devisit suatu ruang.
4. Menurut Ancok :
Kesesakan timbul dari besar-kecilnya ukuran rumah yaitu menentukan besarnya rasio antara penghuni dan tempat (space) yang tersedia.
5. Menurut Stokols :
a. Kesesakan bukan social (nonsocial crowding)
Faktor-faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding.
b. Kesesakan social (social crowding)
Perasaan sesak mula-mula dating dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak.
c. Kesesakan molar (molar crowding)
Perasaan sesak yaitu dapat dihubungakan dengan skala luas, populaasi penduduk.
d. Kesesakan molekuer (molekuler crowding)
Perasaan sesak yaitu menganalisis mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal.
6. Menurut Rapoport :
Kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi. Batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia. Dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.

A. Teori-Teori kesesakan
1. Teoari Beban Stimulus
Kesesakan akan terjadi bila stimulus yang diterima individu terlalu banyak (melebihi kapasitas kognitifnya) sehingga timbul kegagalan dalam memproses stimulus atau info dari lingkungan.
Menurut Keating, Stimulus adalah hadirnya banyak orang dan aspek-aspek interaksinya, kondisi lingkunga fisik yang menyebabkan kepadatan social. Informasi yang berlebihan dapat terjadi karena :
a. Kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan
b. Jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat
c. Suatu percakapan yang tidak dikehendaki
d. Terlalu banyak mitra interaksi
e. Interaksi yang terjadi dirasa terlalu dalam atau terlalu lama
2. Teori Ekologi
Membahas kesesakan dari sudut proses social
a. Menurut Micklin :
Sifat-sifat umum model pada ekologi manusia :
1. Teori ekologi perilaku : Fokus pada hubungan timbale balik antara manusia dan lingkungan.
2. Unit analisisnya : Kelompok social, bukan individu dan organisasi social memegang peranan penting
3. Menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial
b. Menurut Wicker :
Teori Manning : Kesesakan tidak dapat dipisahkan dari factor setting dimana hal itu terjadi.
3. Teori Kendala Perilaku
Kesesakan terjadi karena adanya kepadatan sedemikian rupa sehingga individu merasa terhambat untuk melakukan sesuatu.Kesesakan akan terjadi bila system regulasi privasi seseorang tidak berjalan secara efektif lebih banyak kontak social yang tidak diinginkan. Kesesakan timbul karena ada usaha-usaha yang terlalu banyak, yang butuh energy fisik maupun psikis, guna mengatur tingkat interaksi yang diinginkan.

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesesakan
1. Faktor Personal
a. Kontrol Pribadi dan Locus Of Control; Selligman, dkk :
Kepadatan meningkat bias menghasilkan kesesakan bila individu sudah tidak punya control terhadap lingkungan sekitarnya. Control pribadi dapat mengurangi kesesakan. Locus Of Control ibternal : Kecendrungan individu untuk mempercayai (atau tidak mempercayai) bahwa keadaab yang ada di dalam dirinya lah yang berpengaruh kedalam kehidupannya.
b. Budaya, pengalaman dan proses adaptasi
Menurut Sundstrom : Pengalaman pribadi dalam kondisi padat mempengaruhi tingkat toleransi.
Menurut Yusuf : Kepadatan meningkat menyebabkan timbulnya kreatifitas sebagai intervensi atau upaya menekankan perasaan sesak.
c. Jenis kelamin dan usia
Pria lebih reaktif terhadap kondisi sesak
Perkembangan, gejala reaktif terhadap kesesakan timbul pada individu usia muda.
2. Faktor Sosial
a. Kehadiran dan perilaku orang lain
b. Formasi koalisi
c. Kualitas hubungan
d. Informasi yang tersedia
3. Faktor Fisik
- Goves dan Hughes : Kesesakan didalamnya rumah berhubungan dengan factor-faktor fisik, jenis rumah, urutan lantai, ukuran, suasan sekitar.
- Altman dan Bell, dkk : Suara gaduh,panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, karakteristik setting mempengaruhi kesesakan.

C. Pengaruh Kesesakan terhadap Perilaku
Lingkungan sesak => aktifitas seseorang terganggu => interaksi interpersonal yang tidak diinginkan => mengganggu individu mencapai tujuan => gangguan norma meningkat ketidaknyamanan => penarikan diri dan menurunnya kualitas hidup.
Pengaruh Negatif Kesesakan ;
Penurunan-penurunan Psikologis : perasaan kurang nyaman, stress, cemas, suasana hati yang kurang baik, prestasi menurun, agresifitas meningkat, dan lain-lain.
Malfungsi Fisiologis : Meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, penyakit-penyakit fisik.
Hubungan Sosial Individu : Kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong royong, menarik diri, berkurangnya intensitas hubungan social, dll.

Asumsi Konsekuensi Negatif dari Kesesakan :
1. Model beban stimulus
2. Model kendala perilaku
3. Model ekologi
Perilaku negative akibat sesak dan padat hanya terjadi pada situasi dimana pilihan-pilihan yang tersedia sedikit.
4. Model atribusi
Akibat negative kepadatan dan kesesakan hanya terjadi pada tempat dan situasi teryentu.
5. Model aurosal
Kepadatan dan kesesakan menyebabkan terstimulinya perangkat-perangkat fisiologis tekanan darah meningkat.

Referensi : http://andraselalutertawa.blogspot.com/2010/05/kepadatan-dan-kesesakan.html

Senin, 07 Maret 2011

Apa yang dimaksud dengan kesesakan (crowding)?

Menurut Altman kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Pengertian crowding dengan kepadatan memiliki hubungan erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan keseskan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan,1982).

Baum dan Paulus (1987) menerangkan proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor:
§ Karakteristik setting fisik
§ Karakteristik setting social
§ Karakteristik personal
§ Kemampuan beradaptasi

Menurut Morris kesesakan sebagai deficit suatu ruangan, maka dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas.

Besar kecilnya rumah menentukan besarnya ratio antara penghuni dan tempat (space) yang tersedia. Makin besar rumah dan makin sedikit penghuninya, maka akan semakin besar ratio tersebut. Sebaliknya makin kecil rumah dan makin banyak penghuninya, maka akan semakin kecil ratio tersebut, sehingga akan timbul perasaan sesak (Ancok,1989).
Stokols (dalam Altman,1975) membedakan antara :
a. Kesesakan bukan social (nonsocial crowding) yaitu dimana factor-faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit,
b. Kesesakan social (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak.
c. Kesesakan molar (molar crowding) perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota
d. Kesesakan molekuler (molekuler crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalis mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal.

Rapoport (dalam Stokols dan Altman,1987) mengatakan kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia. Batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.

Teori kesesakan
Teori beban stimulus
Kesesakan akan terjadi bila stimulus yang diterima individu terlalu banyak (melebihi kapasitas kognitifnya) sehingga timbul kegagalan dalam memproses sistim atau info dari lingkungan.

Keating (1979) mengatakan bahwa stimulus berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan social.

Berlebihnya informasi dapat terjadi karena beberapa factor :
a. Kondisi kungkungan fisik yang tidak menyenangkan
b.Jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat
c. Suatu percakapan untuk tidak dikehendaki
d. Terlalu banyak mitra interaksi
e. Interaksi yang terlalu dirasa terlalu dalam atau terlalu lama.

Teori Ekologi
Micklin (dalam Holahan,1982) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia :
• Teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbale balik antara orang dengan lingkungannya
• Unti analisisnya adalah kelompok social dan bukan individu, dan organisasi social memegang peranan sangat penting.
• Menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan social.

Teori kendala perilaku
Suatu situasi akan dianggap sesak bila kepadatan atau kondisi lain yang berhubungan dengan membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat. Pendekatan ini didasari oleh teori reaktansi psikologis (psychological reactace) dari Brehm (dalam Schmidt dan Keating, 1979) yang menekankan kebebasan memilih sebagai factor pendorong penting dalam persepsi dan perilaku manusia.
Menurut Proshansky, dkk (1976) pengaruh psikologis dari kesesakan yang utama adalah ebebasan memilih individu dalam situasi sesak. Kesesakan terjadi bila kehadiran orang lain dalam suatu seting membatasi kebebasan individu dalam mencapai tujuannya.
Menurut Ancok, perasaan sesak di dalam rumah, dapat menimbulkan masalah :
• Menurunnya frekuensi hubungan sex
• Memburuknya interaksi suami istri
• Memburuknya cara pengasuhan anak
• Memburuknya hubngan dengan orang-orang diluar rumah
• Meningkatnya ketegangan dan gangguan jiwa.

Asumsi konsekuensi negative dari kesesakan :
• Model beban stimulus
• Model kendala perilaku
• Model ekologi
• Model atribusi
• Model arousal

Menurut Brigham, akibat negative dari kesesakan pada perilaku manusia yaitu :
• Pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekankan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain.
• Keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggu kebebasan memilih
• Control pribadi yang kurang
• Stimulus yang berlebih.

Daftar Pustaka :
Fernika R, 2010, http://lcbello.blogspot.com/2010/05/kepadatan-density.html

KEPADATAN ?

Kepadatan penduduk adalah jumlah rata-rata penduduk yang mendiami suatu wilayah administrative atau politis tertentu, biasanya dinyatakan dalam jiwa/Km2. Menurut Sundtrom, kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan (dalam Wrghtsman & Deaux,1981), atau sejumlah individu yang berada disuatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFarling, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978). Suatu keadaan akan dikatakan padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).

Kepadatan memperlihatkan banyak hal yang negative. Seperti ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darh, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu. Kepadatan juga menyebabkan agresifitas pada anak-anak dan dewasa atau menjadi sangat menurun bila kepadatan tinggi sekali. Jika kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong-menolong sesame anggota kelompok. Selain itu kepadatan juga mengakibatkan penurunan ketekunan pada pekerja yang menuntut hasil kerja yang kompleks.

Berdasarkan penelitian Bell (dalam Setiadi, 1991) dampak negative dari kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negative pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria bereaksi lebih agresif terhadap anggota kelompok, terhadap kepadatan rendah maupun tinggi. Wanita lebih menyukai anggota kepadatan yang tinggi.
Kategori kepadatan

menurut Altman (1975) kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social. Variasi indicator kepadatan itu meliputi:
∆ Jumlah individu dalam sebuah kota,
∆ Jumlah individu pada daerah sensus,
∆ Jumlah individu pada unit tempat tinggal,
∆ Jumlah ruangan pada unit tempat tinggal,
∆ Jumlah bangunan pada lingkungan sekitar.

Holahan (1982) menggolongkan kepadatan kedalam dua kategori, yaitu:
• kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang
• kepadatan social (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.
Altman (1975) membagi kepadatan menjadi :
• Kepadatan dalam (inside density) yaitu jumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan didalam rumah,kamar;
• Kepadatan luar (outside desity) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Jain (1987) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap stuktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang tinggi atau kepadatan rendah.

Zlutnick dan Altman (dalam Altman,1975; Holahan,1982) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman,yaitu ;
• Lingkungan pinggiran kota, ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah
• Wilayah desa miskin dimana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah
• Lingkungan mewah perkotaan, kepadatan dalam rendah sedangkan kepadatan luarnya tinggi
• Perkampungan kota yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam tinggi.
Altman (1975) membagi kepadatan menjadi :
• Kepadatan dalam (inside density) yaitu jumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan didalam rumah,kamar;
• Kepadatan luar (outside desity) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Jain (1987) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap stuktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang tinggi atau kepadatan rendah.

Zlutnick dan Altman (dalam Altman,1975; Holahan,1982) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman,yaitu ;
Ω Lingkungan pinggiran kota, ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah
Ω Wilayah desa miskin dimana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah
Ω Lingkungan mewah perkotaan, kepadatan dalam rendah sedangkan kepadatan luarnya tinggi
Ω Perkampungan kota yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam tinggi.

Taylor (dalam Gifford,1982) mengatakan bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap perilaku dan keadaan internal seseorang di suatu tempat tinggal. Maka individu yang bermukim dipemukiman dengan kepadatan berbeda mungkin akan menunjukan sikap dan perilaku yang beebeda pula.
Akibat kepadatan tinggi

Taylor (dalam Guilfford,1982) lingkungan sekitar merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal individu disuatu tempat tinggal, serta rumah dan lingkungan pemukiman yang nyaman yang member kepuasan pada psikis individu yang tinggal ditempat tersebut.

Ashorr (dalam Ittelson) mempercayai bahwa macam dan kualitas pemukiman dapat memberikan pengaruh penting terhadap persepsi diri penghuninya, stress dan kesehatan fisik, sehingga kondisi pemukiman ini tampaknya berpengaruh pada perilaku dan sikap-sikap orang yang tinggal disana .

Penelitian Valins dan Baum (dalam Heimstra dan Mc Farling,1978), menunjukan adanya hubungan yang erat antara kepadatan dengan interaksi social. Para mahasiswa yang bertempat tinggal di asrama yang padat cenderung menghindari kontak social dengan orang lain.

Penelitian Karlin dkk (Sears,1994) membandingkan mahasiswa yang tinggal berdua dalam satu kamar dengan mahasiswa yang tinggal bertiga dalam satu kamar (kamar dirancang untuk dua orang). Ternyata mahasiswa yang tinggal bertiga melaporakan adanya kekecewaan, stress dan prestasi belajarnya menurun yang lebih besar dari pada mahasiswa yang tinggal berdua.

Rumah dengan luas lantai yang sempit dan terbatas bila dihuni dengan jumlah individu yang besar individu umumnya akan menimbulkan pengaruh negative pada penghuninya (Jain,1987). Hal ini terjadi karena dalam rumah tinggal yang terbatas umumnya individu tidak memiliki ruang atau tempat yang dapat dipakai untuk kegiatan pribadi. Keterbatasan ruang memungkinkan individu menjadi terhambat untuk memperoleh masukan yang berlebihan. Keadaan tersebut padea akhirnya menimbulkan perasaan sesak pada individu penghuni rumah tinggal tersebut.

Kepadatan tinggi merupakan stressor lingkungan yang dapat menimbulkan kesesakan bagi individu yang berada didalamnya (Holahan,1982). Stressor lingkungan yang dapat menyebabkan stress, penyakit atau akibat-akibat negative pada perilaku masyarakat. Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung,tekanan darh dan penyakit fisik lain (Heimstra dan McFarling,1978). Akibat secara social yaitu meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan McFarling,1978; Gifford,1987).

Akibat psikis lain antara lain:
∆ Stress, kepadatan tinggi menumbuhkan perasaan negative, rasa cemas, stress (Jain,1987) dan perubahan suasana hati (Holahan,1982).
∆ Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung menarik diri dan kurang ma berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling,1978; Holahan,1982; Gifford,1987).
∆ Perilaku menolong, kepadatan tinggi menurunkan keinginan individu untuk menolong atau member bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan,1982; Fisher dkk., 19840.
∆ Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugas pada saat tertentu (Holahan,1982)
∆ Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustrasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling,1978; Holahan,1982)

Menurut Jain (1987) banyaknya unit rumah tinggal dikawasan pemukiman menyebabkan timbulnya pemukiman padat yang umumnya menyebabkan perbandingan antara luas lantai yang didiami tidak sebanding dengan banyaknya penghuni. Jarak antara rumah tinggal dengan rumah tinggal lain yang berdekatan bahkan hanya dipisahkan oleh dinding rumah atau sekat dan tidak jarang mengakibatkan penghuni dapat mendengar dan mengetahui kegiatan yang dilakukan penghuni rumah tinggal lain. Keadaan inilah yang dapat menyebabkan individu merasa sesak.

Dapat kita lihat pada kepadatan dikota Depok, Adanya tekanan yang sangat berat terhadap kondisi geomorfologi dan lingkungan hidup Kota Depok saat ini, akibat pertumbuhan penduduk, yang mana pada tahun 2011 kepadatan penduduk Kota Depok akan mencapai 7.887 orang per kilometer persegi, sedangkan pada tahun 2005 tingkat kepadatan penduduknya baru 6.696 orang per kilometer persegi. Hal ini berarti terjadi peningkatan jumlah penduduk Kota Depok dari tahun 2005 sebanyak 1.374.000 orang menjadi 1.667.000 orang pada tahun 2011.

Jumlah Penduduk, Luas Wilayah Dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan, 2008
Kecamatan Jumlah
Penduduk Luas
Wilayah (Km2) Kepadatan
Penduduk (jiwa/Km2)
010 Sawangan 169,727 45.69 3,714.75
020 Pancoran Mas 275,103 29.83 9,222.36
030 Sukmajaya 350,331 34.13 10,264.61
040 Cimanggi 412,388 53.54 7,702.43
050 Beji 143,190 14.30 10,013.29
060 Limo 152,190 22.80 6,707.81
Kota Depok 1,503,677 200,29 7,507.50
Catatan: Berdasarkan Sensus Penduduk 2000
SUMBER: Proyeksi Penduduk BPS Kota Depok


Daftar Pustaka
Fernika R. 2010. http://lcbello.blogspot.com/2010/05/kepadatan-density.html
Anonim. 2009. http://www.depok.go.id/v3/index.php?option=com_content&task=view&id=309

Selasa, 01 Maret 2011

K E P A D A T A N

Berikut saya akan membahas tentang Kepadatan dalam lingkup Psikologi Lingkungan ..

A. Definisi Kepadatan

Apa yang dimaksud dengan kepadatan ?, kepadatan adalah hasil bagi jumlah objek terhadap luas daerah. Dengan demikian satuan yang digunakan adalah satuan/luas daerah, misalnya: buah/m2.

Berikut definisi kepadatan menurut beberapa ahli :

- Kepadatan menurut Sundstrom (dalam Wrightsman & Deaux, 1981), yaitu sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan.

- Sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFaring, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978).

- Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).

B. Kategori Kepadatan

Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu :

- kepadatan spasial (spatial density), terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap

- kepadatan sosial (social density), terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.

Altman (1975) membagi kepadatan menjadi :

- kepadatan dalam (inside density), yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar;

- kepadatan luar (outside density), yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.

Jain (1987) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. sehingga suatu ewilayah pemukiman dapat dikatakan mempunyai kepadatan tinggi dan kepadatan rendah.

C. Akibat Kepadatan Tinggi

Taylor (dalam Guilfford,1982) berpendapat bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal individu disuatu tempat tinggal. Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situasi dan kondisi yang baik dan nyaman seperti memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberikan kepuasan psikis pada individu yang menempatinya.

Schorr (dalam Ittelson, 1974) mempercayai bahwa macam dan kualitas pemukiman dapat memberikan pengaruh penting terhadap persepsi diri penghuninya, stress dan kesehatan fisik, sehingga kondisi pemukiman ini tampaknya berpengaruh pada perilaku dan sikap-sikap orang yang tinggal disana (Ittelson, 1974).

Penelitian Valins dan Baum (dalam Heimstra dan Mc Farling,1978), menunjukan adanya hubungan yang erat antara kepadatan dengan interaksi social. Mahasiswa yang tinggal di tempat padat cenderung menghindari kontak social dengan orang lain.

Penelitian yang diadakan oleh Karlin dkk. (dalam Sears dkk., 1994) mecoba membandingkan mahasiswa yang tinggal berdua dalam satu kamar dengan mahasiswa yang tinggal bertiga dalam satu kamar (kamar dirancang untuk dua orang). Ternyata mahasiswa yang tinggal bertiga melaporakan adanya stress dan kekecewaan, yang secara nyata lebih besar daripada mahasiswa yang tinggal berdua. selain itu mereka yang tinggal bertiga juga lebih rendah prestasi belajarnya.

Rumah dengan luas lantai yang sempit dan terbatas bila dihuni dengan jumlah individu yang besar individu umumnya akan menimbulkan pengaruh negative pada penghuninya (Jain,1987). Hal ini terjadi karena dalam rumah tinggal yang terbatas umumnya individu tidak memiliki ruang atau tempat yang dapat dipakai untuk kegiatan pribadi. Keterbatasan ruang memungkinkan individu menjadi terhambat untuk memperoleh masukan yang berlebihan. Keadaan tersebut padea akhirnya menimbulkan perasaan sesak pada individu penghuni rumah tinggal tersebut.

Kepadatan tinggi merupakan stressor lingkungan yang dapat menimbulkan kesesakan bagi individu yang berada didalamnya (Holahan,1982). Stressor lingkungan menurut Stokols (dalam Brigham, 1991), merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stress, penyakit atau akibat-akibat negative pada perilaku masyarakat.

Menurut Heimstra dan Mc Farling (1978) kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik, sosial maupun psikis. Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darh dan penyakit fisik lain (Heimstra dan McFarling,1978). Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan McFarling,1978; Gifford,1987).

Akibat psikis lain antara lain:

>Stress, kepadatan tinggi menumbuhkan perasaan negative, rasa cemas, stress (Jain, 1987) dan perubahan suasana hati (Holahan, 1982).

>Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling,1978; Holahan,1982; Gifford,1987).

>Perilaku menolong, kepadatan tinggi menurunkan keinginan individu untuk menolong atau member bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan,1982; Fisher dkk., 1984).

>Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugas pada saat tertentu (Holahan,1982)

>Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustrasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling,1978; Holahan, 1982).

Menurut Jain (1987) banyaknya unit rumah tinggal di kawasan pemukiman menyebabkan timbulnya pemukiman padat yang umumnya menyebabkan perbandingan antara luas lantai yang didiami tidak sebanding dengan banyaknya penghuni. Jarak antara rumah tinggal dengan rumah tinggal lain yang berdekatan bahkan hanya dipisahkan oleh dinding rumah atau sekat dan tidak jarang mengakibatkan penghuni dapat mendengar dan mengetahui kegiatan yang dilakukan penghuni rumah tinggal lain. Keadaan inilah yang dapat menyebabkan individu merasa sesak.

D. Kepadatan dan Perbedaan Budaya

Menurut Koerte (dalam Budihardjo, 1991) faktor-faktor seperti ras, kebiasaan, adat-istiadat, pengalaman masa silam, struktur sosial, dan lain-lain, akan menentukan apakah kepadatan tertentu dapat menimbulkan perasaan sesak atau tidak.

Setiadi (1991) bahwa bangsa Amerika sudah dapat merasakan dampak negatif yang luar biasa pada kepadatan sekitar 1500 orang/Ha, dengan terjadinya banyak penyimpangan perilaku sosial, pembunuhan, perkosaan, dan tindak kriminal lainnya. sementara itu, di jepang dan Hongkong dengan kepadatan 5000 orang/Ha pada bagian kota-kota tertentu, tenyata angka kejahatan/kriminal di sana masih lebih rendah.

Sumber :

http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab4-kepadatan_dan_kesesakan.pdf

http://id.wikipedia.org/wiki/Kepadatan

Apa itu Kepadatan ?

Definisi kepadatan beberapa ahli :

- Kepadatan menurut Sundstrom (dalam Wrightsman & Deaux, 1981), yaitu sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan.
- Sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFaring, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978).
- Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).

Penelitian tentang kepadatan manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun (dalam Worche dan Cooper, 1983) bertujuan untuk mengetahui dampak negatif kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus. Pertumbuhan populasi yang tak terkendali, memberikan dampak negatif terhadap tikus – tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik pada ginjal, otak, hati, dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal. Akibat keseluruhan dampak negatif tersebut menyebabkan penurunan kesehatan dan fertilitas, sakit, mati, dan penurunan populasi.

Penelitian terhadap manusia pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba memerinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku sosial; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja tugas)? Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal-hal yang negatif akibat dari kepadatan, diantaranya :

1. ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.

2.peningkatan agresivitas pada anak – anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong-menolong sesama anggota kelompok.

3. terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.

Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negatif kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negatif pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga bereaksi lebih negatif terhadap anggota kelompok, baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi.

Pembicaraan tentang kepadatan tidak terlepas dari masalah kesesakan. Kesesakan atau crowding merupakan persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, sehingga lebih bersifat psikis (Gifford, 1978; Schmidt dan Keating, 1979; Stokois dalam Holahan, 1982). Kesesakan terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan baik karena individu atau kelompok terlalu banyak berinteraksi dengan yang lain tanpa diinginkan individu tersebut (Altman, 1975).

Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor, yaitu:
a. seting fisik.
b. seting sosial.
c. personal.
d. Kemampuan beradaptasi.

sumber: Altman (1975)

Apa Yang Dimaksud Dengan Ambient Condition dan Architectural Features ?

Menurut Wrighstman dan Deaux (1981) terdaat dua kualitas lingkungan yaitu..
1. Ambient Condition
Kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti suara, cahaya, warna, kualitas udara, temperatur dan kelembaban.
2. Architectural Features
Seting-seting yang bersifat permanen seperti, suatu ruangan didalamnya terdapat konfigurasi dinding, lantai, atap serta pengaturan perabot dan dekorasi.
Dalam suatu gedung terdapat Architectural features meliputi lay out tiap lantai desain dan perlakuan ruang dalam dan sebagainya.

Sumber : http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab1- pendahuluan.pdf

Selasa, 22 Februari 2011

Apa Saja Metodologi dan Teori dari Psikologi Lingkungan ?

A. Metodologi Penelitian dalam Psikologi Lingkungan

Menurut Veitch dan Arkkelin (1995) terdapat 3 metode penelitian yang lazim digunakan di lapangan penelitian psikologi lingkungan. Ketiga metode tersebut adalah : Eksperimen Laboratorium, Studi korelasi, dan Eksperimen Lapangan.

a. Eksperimen Laboratorium

Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti memiliki perhatian terutama yang berkaitan dengan tingginya validitas internal, maka eksperimen laboratorium adalah pilihan yang biasanya diambil. Metode ini memberi kebebasan kepada eksperimenter untuk memanipulasisecara sistematis variabel yang diasumsikan menjadi penyebab dengan cara mengontrol kondisi-kondisi secara cermat yang bertujuan untuk mengurangi variabel-variabel yang mengganggu. Selain itu yang tidak kalah pentingnya, metode eksperimen laboratorium juga mengukur pengaruh manipulasi-manipulasi tersebut. Dengan cara ini, maka hasil pengumpulan data adalah benar-benar variabel yang telah dimanipulasikan oleh eksperimenter.

b. Studi Korelasi

Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti ingin memastikan tingkat validitas eksternal yang tinggi, maka seorang peneliti dapat menggunakan variasi-variasi dari metode studi korelasi. Studi-studi yang menggunakan metode ini dirancang untuk menyediakan informasi tentang hubungan-hubungan diantara hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam nyata yang tidak dibebani oleh pengaruh pengumpulan data. Dalam studi korelasi kita pada umumnya melaporkan hal-hal yang melibatkan pengamatan alami dan teknik penelitian survai.

Dengan menggunakan metode pengambilan data apapun, maka penyimpulan dengan menggunakan studi korelasi dapat diperoleh hasil yang berbeda dibandingkan dengan eksperimen laboratorium. Dengan eksperimen laboratorium, kesimpulan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang menjadi penyebab akan membuahkan hasil yang tepat.

c. Eksperimen Lapangan

Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti ingin menyeimbangkan antara validitas internal yang dicapai melalui eksperimen laboratorium dengan validitas eksternal yang dapat dicapai melalui studi korelasi, maka ia boleh menggunakan metode campuran yang dikenal dengan istilah eksperimen lapangan. Dengan metode ini seorang eksperimenter secara sistematis memanipulasi beberapa faktor penyebab yang diajukan dalam penelitian dengan mempertimbangkan variabel eksternal dalam suatu seting tertentu. Hal-hal yang dapat dikendalikan memang hilang, akan tetapi pada saat yang sama banyak hal yang berpengaruh dalam metode korelasi ditemukan. Oleh karena itu, para peneliti mengembangkan kontrol terhadap variabel, menjaga validitas eksternal pada tingkat tertentu, dan mencoba menemukan percobaan yang lebih realistis guna mendukung suatu penelitian yang baik. Sebagai contoh, seorang peneliti dapat memanipulasi temperatu di dalam kereta api bawah tanah pada tingkat kepadatan penumpang tertentu untuk mengungkap kemungkinan adanya pengaruh dari variabel-variabel tersebut terhadap perilaku penumpang berupa memungut kertas yang secara tiba-tiba dengan sengaja dijatuhkan oleh eksperimenter.

B. Pendekatan Teori Psikologi Lingkungan

1. Teori Level Adaptasi

Teori ini pada dasarnya sama dengan teori beban lingkungan. Menurut teori ini, stimulasi level yang rendah maupun level tinggi mempunyai akibat negatif bagi suatu perilaku. Level stimulasi yang optimal adalah yang mampu mencapai perilaku yang optimal pula.

2. Teori Ekologi (Echological Theory)

Perilaku manusia merupakan bagian dari kompleksitas ekosistem menurut Hawley (dalam Helmi, 1999), yang mempunyai beberapa asumsi dasar sebagai berikut:

i. Perilaku manusia terkait dengan konteks lingkungan

ii. Interaksi timbale balik yang menguntungkan antara manusia – lingkungan


iii. Interaksi manusia – lingkungan bersifat dinamis

iv. Interaksi manusia – lingkungan terjasi dalam berbagai level dan tergantung dengan fungsi.


3. Karakteristik Pendekatan Psikologi Lingkungan

Terdapat dua pendekatan yaitu yang menyatakan bahwa lingkungan dalam kemurnian fisik (kaidah obyektifnya), dan pendekatan lainnya dalam orientasi phenomenology yang secara esensial menyatakan kesamaan dari lingkungan fisik/signifikansinya. Masing-masing mengabaikan tujuan dasar untuk mendefinisikan arti lingkungan dalam kerangka pendekatan tersebut. Tapi jika kedua pendekatan tersebut dapat menyatakan definisi, maka kesulitan mendasar akan muncul karena masing-masing pendekatan melihat suatu tingkatan parameter yang signifikan yang dinyatakan oleh satu dan lainnya.

Pendekatan obyektif untuk lingkungan merupakan akar dari percobaan psikofisik dan Watsonian Behaviourism, yang membagi lingkungan fisik menjadi dorongan discrete quantifiable yang merupakan fungsi hubungan yang khas terhadap pengalaman dan perilaku. Pendekatan ini secara esensial digunakan untuk memantapkan dimensi dan kebebasan psikologi manusia seperti melihat/mengamati, berpikir, belajar, dan merasakan. Hal itu banyak mengajarkan kita tentang beberapa hal yang mendasar tentang fungsi tersebut namun tidak berarti terlalu banyak untuk dimengerti sebagai hasil integrasi manusia dalam bertingkah. Perilaku sendiri punya maksud tertentu dalam suatu setting sosial yang kompleks.

Pendekatan psikologi lingkungan sebagaimana yang disampaikan oleh Holahan (1982) mempunyai karakteristik antara lain :

1. Adaptational Focus yaitu suatu Fokus penekanan pendekatan terdapat pada proses adaptasi manusia terhadap kebutuhan yang demikian kompleks terhadap suatu lingkungan fisik.

Tiga aspek penting dalam adaptational Focus ini adalah :

a. Bahwa adaptational focus adalah proses psikologi yang yanag menjadi perantara dari pengaruh lingkungan / setting fisik terhadap kegiatan manusia

b. Bahwa adaptational focus merupakan pandangan yang holistik terhadap lingkungan fisik dalam hubungannya dengan perilaku, lingkungan, pengalaman dan kegiatan manusia. Lingkungan fisik sebagai suatu setting bagi perilaku manusia , bukan hanya sebagai stimula tunggal.

c. Bahwa adaptational focus melibatkan peranan aktif manusia dengan lingkungannya. Manusia aktif mencari cara positif dan adaptif untuk mengatasi tantangan lingkungannya (adaptational model)

2. Pendekatan Psikologi Lingkungan ini adalah lebih berupa problem soving dalam pembentukan paradigma baru yang berkaitan dengan suatu disiplin keilmuan. Dalam hal ini ilmuwan psikologi lingkungan harus terus melanjutkan usahanya untuk melakukan uji coba selanjutnya dan lebih mensistematiskan asumsi “terjadi dengan sendirinya” terutama dengan perhatian terhadap wilayah permasalahan yang relatif tidak terjangkau oleh riset yang sistematis. Salah satu yang bisa diusulkan adalah teknik observasi partisipatif

Observasi Partisipatif

Observasi partisipatif didefinikan sebagai suatu proses dimana observer berada dalam situasi langsung dengan yang diamatinya dan dengan peran serta dalam kegiatan sehari-hari observer mengumpulkan data. Observasi Partisipatif merupakan teknik yang sering digunakan dalam berbagai kajian ilmu termasuk psikologi lingkungan. Perkembangan bidang kajian arsitektur lingkungan dan perilaku juga banyak dilakukan dengan menggunakan teknik ini dengan beberapa modifikasi. Prinsip dasar yang digunakan adalah meniadakan ‘dinding batas’ serta menghilangkan jarak anata obyek yang diamati dengan subyek (pengamat). Artinya pengamat bisa berbaur dengan lebih intens terhadap obyek yang diamatinya.


Referensi :

Helmi, Avin Fadilla. 1999. Beberapa teori psikologi lingkungan. http://avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/psikologilingkungan_avin.pdf. Diakses tanggal 13 Februari 2011.

Hadinugroho, Dwi Lindarto. Pengaruh lingkungan fisik pada perilaku : suatu tinjauan arsitektural. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1306/1/arsitektur-dwi2.pdf. Diakses tanggal 13 Februari 2011.


Anonim, Pendekatan teori dan metode penelitian psikologi lingkungan. http://www.elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab2-pendekatan_teori_dan_metode_penelitian_psikologi_lingkungan.pdf. Diakses tanggal 13 Februari 2011.

Selasa, 15 Februari 2011

Kenalan sama psikologi lingkungan, yuk !

Mengutip dari anneahhira.com, Psikologi lingkungan adalah ilmu kejiwaan yang mempelajari perilaku manusia berdasarkan pengaruh dari lingkungan tempat tinggalnya, baik lingkungan sosial, lingkungan binaan ataupun lingkungan alam.
Dalam psikologi lingkungan juga dipelajari mengenai kebudayaan dan kearifan lokal suatu tempat dalam memandang alam semesta yang memengaruhi sikap dan mental manusia.
Apabila kebudayaan dan kearifan lokal kita pahami sebagai perjuangan manusia untuk mempertinggi kualitas hidupnya, maka mawas diri akan menjadi inti pokok dari pelajaran psikologi lingkungan.
Soedjatmoko, seorang ahli sosiologi, mengungkapkan harapannya untuk mengangkat mawas diri dari tingkat moralisme semata-mata ke tingkat pengertian psikologis dan historis dan mengenai perilaku manusia. Dalam hal ini beliau memberikan pengertian tentang moralisme dan perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh psikologis historis suatu lingkungan, tempat orang tersebut bersosialisasi dengan masyarakat binaannya.
Sementara Hardjowirogo, seorang antropolog, menulis bahwa tidak ada jaminan akan keefektifan mawas diri. Ungkapan itu telah surut menjadi sekadar penghias buah bibir. Perubahan zaman telah membawa pula fungsi mawas diri menjadi pengucapan belaka.
Sebagai contoh, lihat saja yang terjadi di zaman sekarang. Kini, banyak orang yang tinggal di dalam lingkungan baik dan religius, namun perilakunya sangat tidak mencerminkan lingkungan tempat dia tinggal. Meskipun orang tersebut sangat kenal dengan moral yang baik, belum tentu orang tersebut akan berlaku baik. Karena ternyata lingkungan sosial di zaman sekarang tidak bisa membentuk pribadi seseorang.
Seseorang bisa saja tinggal dalam lingkungan pesantren yang selalu diajarkan akidah dan akhlak yang baik. Namun, sifat dasar manusia selalu penasaran dan ingin mencari kebenaran sendiri dengan mencari perbandingan sendiri.
Menurut saya hal ini makin memperjelas betapa besar pengaruhnya lingkungan sekitar dan rasa ingin tahu seseorang dengan kepribadiannya.
Sejarah Psikologi Lingkungan
Kurt Lewin yang pertama kali memperkenalkan Field Theory (Teori Medan) yang merupakan salah satu langkah awal dari teori yang mempertimbangkan interaksi antara lingkungan dengan manusia. Lewin juga mengatakan bahwa tingkah laku adalah fungsi dari kepribadian dan lingkungan, sehingga dapat diformulasikan menjadi :
T L= f(P.L)

TL = tingkah laku
f = fungsi
P = pribadi
L = lingkungan
Berdasarkan rumusan tersebut, Lewin mengajukan adanya kekuatan-kekuatan yang terjadi selama interaksi antara manusia dan lingkungan. Masing-masing komponen tersebut bergerak suatu kekuatan-kekuatan yang terjadi pada medan interaksi, yaitu daya tarik dan daya mendekat dan daya tolak dan daya menjauh.
Sebelum kita kenal istilah psikologi lingkungan yang sudah baku, semula Lewin memberikan istilah ekologi psikologi. Lalu pada tahun 1947, Roger Barker dan Herbert Wright memperkenalkan istilah setting perilaku untuk suatu unit ekologi kecil yang melingkupi perilaku manusia sehari-hari. Istilah psikologi arsitektur pertama kali diperkenalkan ketika diadakan konferensi pertama di Utah dan jurnal profesional pertama yang diterbitkan pada akhir tahun 1960-an banyak menggunakan istilah lingkungan dan perilaku. Baru pada tahun 1968, Harold Proshansky dan William Ittelson memperkenalkan program tingkat doktoral yang pertama dalam bidan psikologi lingkungan di CNUY (City University of New York) (Gifford, 1987).

Lingkup Psikologi Lingkungan
Selanjutnya, Sebenarnya Psikologi Lingkungan mempelajari tentang apa saja sih ?

Berdasarkan objek yang dipelajarinya, psikologi dapat dibedakan atas:
٭ Psikologi yang mempelajari manusia
٭ Psikologi yang mempelajari hewan.

Psikologi Manusia
Cakupan yang cukup luas, menyebabkan dilakukannya pengelompokkan dalam psikologi manusia.

Atas dasar tujuannya, dibedakan atas:
§ Psikologi Teoritis
§ Psikologi Praktis

Atas dasar objek yang dipelajarinya, dibedakan atas:
§ Psikologi Umum
§ Psikologi Khusus

Ambient Condition & Architectural Condition
Apa yang dimaksud dengan Ambient Condition dan Architectural Condition ?
Dalam hubungannya dengan lingkungan fisik Wrighstman dan Deaux (1981)
membedakan dua bentuk lualitas lingkungan yang meliputi :
1. Ambient Condition
Kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti suara, cahaya, warna, kualitas udara, tempratur, dan kelembapan.
2. Architectural Condition
Yang tercakup di dalamnya adalah seting-seting yang bersifat permanen. Misalnya dalam suatu ruangan, yang termasuk di dalamnya antara lain konfigurasi dinding, lantai, atap, serta pengaturan perabotan dan dekorasi.

Pengaruh Teknologi
Teknologi ternyata juga memiliki peranan yang cukup besar didalam perkembangan psikologi lingkungan.
Teknologi sekarang sudah sangat canggih. Alat telekomunikasi seperti internet dan telepon memberi pengaruh besar kepada pribadi seseorang. Sehingga orang yang tinggal di lingkungan pesantren bukan tidak mungkin berpandangan liberal dan kebarat-baratan. Ternyata, pengaruh dunia maya sangat besar dalam membentuk pribadi seseorang.
Pada masa sekarang ini, Indonesia sedang mengalami transformasi besar-besaran, baik akibat perubahan kondisional, seperti pertambahan jumlah penduduk yang luar biasa, maupun interaksi yang intensif antara kebudayaan asli dengan kebudayaan mancanegera, khususnya melalui jaringan telekomunikasi yang sangat canggih seperti, televisi dan internet. Perubahan penduduk yang pesat telah membawa dampak perubahan perilaku yang dahsyat. Semula,
komunitas primordial dapat memenuhi kebutuhan pokok anggota-anggotanya. Kini, pertambahan
penduduk yang pesat menghancurkan kepentingan komunitas tersebut.
Pertambahan penduduk ini juga berdampak pula pada pola-pola migrasi. Urbanisasi makin deras sehingga menimbulkan penumpukan penduduk di kota-kota. Penumpukan warga kota yang semakin padat menyebabkan lapangan pekerjaan semamikin menyempit. Hal ini akan menimbulkan kemiskinan.
Kemiskinan akan menyebabkan perilaku yang beringas di perkotaan dan meningkatnya tindak kriminalitas, seperti pencopetan, penodongan, dan tindak kekerasan lainnya. Perubahan perilaku yang deras juga terjadi akibat interaksi antara sistem kebudayaan yang berbeda-beda. Ambilah contoh perilaku masyarakat desa yang sudah pindah ke kota besar. Mereka cenderungmenjadi orang-orang yang hedonis, konsumtif dan kapitalis karena beranggapan bahwa sikap semacam itulah yang dinamakan sikap manusia modern.
Lingkungan kota sangat berbeda dengan lingkungan desa. Jika lingkungan kota adalah lingkungan pekerja yang dekat dengan teknologi canggih, seperti karyawan pabrik yang akrab dengan mesin mesin pabrik dengan teknologi tinggi atau karyawan kantor yang akrab dengan media komputer, sementara masyarakat desa akrab dengan lingkungan alam karena kebanyakan mereka bekerja sebagai petani.
Maka jelaslah secara perilaku akan jauh berbeda, meskipun tidak menutup kemungkinanmasyarakat desa pun sudah mengenal teknologi seperti internet sehingga pengaruh budaya luar dengan mudah masuk ke dalam “isme” mereka.
Sistem kebudayaan masyarakat kota itu sudah sangat terkontaminasi dengan pengaruh budaya asing sehingga perilaku masyarakat kota lebih individualis daripada masyarakat desa. Perilaku ini sangat dipengaruhi oleh interaksi, interelasi, dan interdepensi dari berbagai budaya yang membawa perubahan dari yang paling profan sampai yang paling sakral.
Interaksi ini terjadi pada hampir semua sektor kebudayaan, seperti ekonomi, sosial, politik, juga pada agama, filsafat, ilmu pengetahuan dan kesenian. Perubahan ini tidak bisa dianggap sebagai perubahan yang serasi, selaras dan seimbang, tetapi lebih berupa konflik.

Value Confusion (Kebingungan akan nilai)
Dari konflik inilah muncul apa yang disebut Value Confusion, ketika nilai-nilai yang berbeda bahkan bertentangan dianggap sama sahnya. Misalnya nilai rukun dan nilai kebebasan. Terkadang muncul pula suasana kosong nilai atau anomi, karena tak ada lagi nilai-nilai yang dapat dijadikan pegangan.
Mencermati hal di atas maka perilaku masyarakat kota itu cenderung lebih bebas karena sudah tidak mengindahkan nilai-nilai yang ada. Mungkin dapat dikatakan bahwa perilaku masyarakat kota itu lebih tidak bermoral daripada masyarat desa.

REFERENSI
1. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/pengantar-psikologi-lingkungan/
2. http://www.anneahira.com/psikologi-lingkungan.htm